Sabtu, 22 Maret 2014

Bagaimana memilih seorang pemimpin secara benar? Pertanyaan itu harus dijawab oleh masyarakat dengan terlebih dahulu menentukan kriteria kepemimpinan yang dibutuhkan sesuai petunjuk agama dan keyakinan. Kemudian melalui mekanisme yang benar melakukan seleksi berdasarkan kriteria kepemimpinan itu (uji kepantasan dan kelayakan) terhadap calon untuk ditampilkan kepada masyarakat pemilih.
Dalam kaitan dengan Pilkada Kudus 2013, semestinya hal itu dilakukan oleh parpol. Namun nyatanya parpol tidak sepenuhnya melakukan tugas itu. Oleh karena itu dalam menggunakan hak pilih nanti hendaknya masyarakat pemilih mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
1. Apakah calon pemimpin mempunyai sifat-sifat sebagaimana tersirat dalam pidato pelantikan Abu Bakar Ash Shiddiq yang meliputi: rendah hati (santun dan merakyat), terbuka (transparan/ siap diluruskan apabila melakukan kesalahan), amanah (jujur dan mampu melaksanakan tugas), adil (memperlakukan sama untuk semua golongan dan tingkatan dalam masyarakat), teguh dalam perjuangan (konsisten dan tidak mudah terpengaruh dengan situasi dan kondisi yang akan mengacaukan tujuan), demokratis (mau menghargai pendapat dan menyalurkan aspirasi yang benar) dan taqwa kepada Allah.
2. Apakah jalan yang ditempuh hingga menjadi seorang calon pemimpin telah melalui proses pencalonan oleh parpol karena ia dipandang layak oleh parpol itu (melalui fit and proper test dengan benar) atau melalui proses politik transaksional (dikenal dengan money politic atau membeli kursi parpol). Jika jalan yang ditempuh melalui politik transaksional, maka meski ia didukung oleh banyak parpol dengan banyak kursi, lebih besar kemungkinannya ia akan tidak bisa berlaku amanah dalam  menjalankan kepemimpinannya nanti.
3. Perhatikan tingkah laku dan perbuatan (rekam jejak) calon pemimpin itu sebelumnya. Apakah betul ia telah berbuat banyak untuk masyarakat secara adil dan merata? Jika ia berbuat banyak, apakah ia benar-benar telah berbuat didorong oleh kepeduliannya ataukah karena ia punya maksud untuk pencitraan diri agar ia bisa terpilih pada kompetisi pemilihan berikutnya? Menjadi masyarakat pemilih hendaknya jangan mudah terlupakan dan terbuai atas keburukan calon pemimpin di masa lalu, hanya gara-gara diberi suatu pemberian atau dijanjikan sesuatu.
4. Apakah calon pemimpin itu menggunakan kekuasaannya untuk memilih dirinya dengan janji jabatan atau menakut-nakuti bawahannya dengan ancaman?
5. Apakah ia membagi-bagikan uang atau sesuatu kepada pemilih dengan janji akan memilihnya? Jika itu dilakukan, hendaknya uang atau sesuatu itu dengan tegas ditolak, karena hal itu terlarang menurut pandangan agama dan negara. Namun jika tidak kuasa menolak (karena perasaan dirinya miskin), ikuti apa kata sang motivator Mario Teguh “Ambil uangnya dan jangan pilih orangnya”.
Mengingkari janji itu dosa, namun mengingkari janji itu lebih kecil dosanya dibanding mengingkari anjuran agama untuk memilih pemimpin yang amanah. Toh calon pemimpin yang melakukan tindakan menipu orang lain (masyarakat) dengan modus (cara) melakukan money politic itu pada hakekatnya adalah tindakan menipu diri mereka sendiri, bukan masyarakat yang menipu calon pemimpin. Mereka juga yang nanti akan menanggung akibat dari perbuatan mereka sendiri (al Qur’an surat al An’am ayat 123).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar